How about to talking about love. I think so many boys that i have hurted them. But actually I didnt care. For what I care about them, It cans helping them to forget me, It just make their heart just too hurt... more than hurt....
Sabtu, 16 Maret 2013
Storia
In a state of fatigue I keep looking ahead. In thought I fought dirty in a lack of doubt. Probably not a few who berate, hate, and blasphemy, but I'm still in a state of pioneer life smile.
Nights allow me to tell you many things. Waiting for the sky in the bitter light endless journey. My footsteps sometimes feels humiliated, but still I didnt bother, my path remains one that is happiness.
I think everyone has realized to hate me. But I think that's okay, they hate because they love. They didnt bother to think of me if they didnt care about me. But still they hate me, they love me mark.
Stares cruelly kill, stab the heart. The whispers said sometimes a roar. Addressed to me, yes I am. I just looked away as if I do not care about going around, which I think is me ... I .. I still ...
How about to talking about love. I think so many boys that i have hurted them. But actually I didnt care. For what I care about them, It cans helping them to forget me, It just make their heart just too hurt... more than hurt....
How about to talking about love. I think so many boys that i have hurted them. But actually I didnt care. For what I care about them, It cans helping them to forget me, It just make their heart just too hurt... more than hurt....
Kamis, 14 Maret 2013
SEBUT ITU TIGA (CERPEN)
“Disaat
itu tiga, itu tetaplah terbilang dua. Maka apa artinya tiga jika itu terucap
dua.Waktu izinkanlah tiga itu tetaplah menjadi tiga, karena jika dua akan
terucap tiga maka itu artinya satu akan melepas segala kepenatan dunia.”
--------------------
Naura menghempaskan tasnya di meja
belajarnya. Dia membantingkan tubuhnya di atas pulau peraduan. Bantal hello kitty itu diremuknya dan dibuangnya
menjauh dari tempat dia singgah. Tak lama air matanya mengucur deras di
pipinya. “Tetap saja itu dua,” bentak batinya.
Gina melotot tajam memberikan tatapan seram terhadap
Naura. Naura tetap saja mengomel mengikuti nafsunya. Ressa mencoba menenangkan
kedua sahabatnya itu yang nampaknya sedang dipenuhi aura jahat.
“Kenapa sih kalian berdua, apa yang
salah dari gua, kalian selalu aja berdua, kita itu bertiga tapi kenapa kalian
tuh kayak nggak pernah nganggep aku ada!” bentak Naura.
“Eh elo yang kenapa, pagi-pagi udah
marah-marah gak jelas sama kita berdua!” jawab Gina dengan nada tinggi yang tidak
kalah dari Naura.
Ressa mencoba memisahkan kedua
sahabatnya itu dalam pertarungan mulut yang telah terjadi selama setengah jam.
“Naura udah, Gina juga stop, jangan kayak ini, nggak enak didenger orang.”
Gina berdiri dengan amarah yang
meluap. Matanya tetap melotot kejam dengan desas-desus nafas tak beraturan. “Lo
kalo bosen temenan atau nggak mau jadi sahabat kita lagi udah sana, pergi lo!
Kita juga gak butuh elo!” ucap Gina kasar sambil mendorong pundak Naura dan
berlalu darinya.
Ressa tersentak mendengar ucapan
sahabatnya, Gina. Dia berlari mengejar Gina, berusaha untuk menenangkan Gina.
“Gin, yang elo ucap itu keterlaluan Gin! Tenang Gin, tenang!”
“Re gue capek sama dia! Dia selalu
kayak gitu sama kita apa lo gak sakit hati Re!”
Ressa terdiam. Pikirannya bingung bukan
kepalang. Ia membalik langkah kakinya ingin melihat keadaan sahabatnya, Naura,
tapi langkahnya terhenti, Naura telah ada di hadapannya.
“Re gak usah pikirin gue lagi, makasih
Re lo udah baik sama gue,” ucap Naura dan langsung berlalu.
Naura berusaha melangkahkan kaki untuk
kembali ke rumahnya. Dia melihat dua mobil yang tak asing baginya tengah ada di
garasi rumahnya. Langkahnya terhenti sejenak. Ia menggengam, mengangkat kedua tangannya, lalu memejamkan
matanya. Tak lama kemudian, ia melangkahkan lagi kaki mungilnya untuk siap
masuk ke dalam rumah.
“Praaang!” sebuah piring melayang
tepat di depannya kini hancur menjadi serpihan,
Dua orang paruh baya itu mencoba
menenangkan nafasnya saat melihat putri cantiknya yang hampir terkena piring
melayang tadi. Naura yang semula terkejut, kini mulai melanjutkan lagi langkah
kakinya ke tempat peraduannya. Dua orang paruh baya itu mencoba mendekati anak
semata wayangnya itu, namun Naura menolak salah satu tangan dari mereka yang
mencoba menyentuhnya. Dia tetap berjalan menuju singgasana peraduannya. Dia
melangkah, hatinya lelah.
“Deru
izinkan aku berseru
Tunjukkan bahwa
dunia ini palsu
Dalam gemuruh aku mengadu
Aku perlu seribu kertas
berdebu
Menunjukkan hatiku disini tengah berlagu
Runtuh”
Air mata dan bercak
darah terus menetes memburamkan semua tulisan di heningnya malam. Naura mencoba
menenggelamkan dirinya dari semua dunia nyatanya. Dia ingin terlelap,
berfantasi dalam keheningan walau itu sebentar. Namun setidaknya Ia dapat
tersenyum walau hanya beberapa jam saja.
-------------------------
Sorot sinar pagi membangunkannya dalam
fantasi indahnya semalam. Wanita paruh baya itu mendekati Naura yang masih
berleha-leha di kasur manisnya. Ia mencoba menyentuh Naura, tapi Naura langsung
beranjak dari kasurnya. Dia meninggalkan wanita paruh baya itu sendiri, ia
bergegas ke kamar mandi.
“Na, kamu nggak mau sekolah apa?”
tanya wanita paruh baya tak lain adalah Mama Naura.
Naura diam saja dan tetap mengoles
roti dengan selai strawberry seolah tak mendengar wanita itu bicara
kepadanya.
“Hmm, apa kamu libur hari ini sayang?”
Tanya wanita yang masih berharap putri cantiknya itu menjawabnya.
Naura menatap mamanya tajam. Dia
menghembuskan nafasnya kasar. “Mama urusin aja kerjaan mama, bukanya Naura itu
nggak berguna di mata Mama dan Papa,” ia bergegas meninggalkan mamanya sendiri.
Wanita paruh baya itu menghela nafas.
Air matanya jatuh, air mata penyesalan yang tak pernah dia renungkan
sebelumnya.
------------------
Ressa mencegat Gina untuk tetap
menjawab pertanyaannya. Gina mencoba mengelak dari hadapan Ressa. Namun tak
sengaja tangan Ressa melayang ke muka Gina. Ressa tersentak, namun mencoba
tenang. Gina yang nampaknya emosi langsung membentak Ressa.
“Re gini lo ya, sahabat lo bilang, berani
maen tangan, sahabat macam apa lo!” tatap Gina tak percaya.
“Gin, lo yang sahabat macam apa, lo
gak sadar apa yang lo buat sama Naura. Dia itu sahabat kita Gin, seorang
sahabat itu harusnya mendengarkan, memamahami, dan menenangkan, bukannya membuang
sahabatnya sendiri!” bentak Ressa.
“Dia itu keterlaluan Re, dia selalu
aja ngomong kalo kita itu nggak perduli sama dia! Kalo dia gak suka lagi sama
kita, lebih baik dia pergi Re! dia itu nyusahin kita aja!” jawab Gina yang
masih memegang pipi kanannya.
“Wajar Gin dia gitu, kita tau Gin dia,
Kita tau apa yang orang lain nggak tau Gin,” bentak Ressa.
Gina terdiam dan menunduk kaku. Ruang
hatinya tergencat malu. Perlahan matanya yang semula penuh tatapan iblis kini
bergenangan air asin meluluhkan pikirannya. “Re……”
----------------------------
Naura mencoba bertahan dari
pikirannya. Dia tak tega, sungguh tak tega mendengar isak tangis wanita paruh
baya yang disebutnya Mama itu. Dia ingin mengetuk masuk pintuk coklat itu dan
memeluk wanita itu. Dia pun memulai langkah kakinya, membuang semua
keegoisannya.
“Kreeek,”
Wanita paruh baya itu melihat ke arah
pintu dengan muka sembab.
“Ma, maafin Naura ma…” ucap Naura yang
langsung mendekap wanita itu.
Wanita itu terharu. Isak tangisnya
menambah jadi pada siang itu. Dia mendekap putri sematang wayangnya itu erat. Dekapan
ini yang pertama kali sejak dia tidak memperdulikan putrinya itu. “Maafin mama
Nak, maafin Mama.”
------------------------
“Sudah berapa lama kamu mengalami
gejala ini? Mimisan, sakit kepala?” Tanya lelaki dengan baju yang serba putih
itu.
“Entahlah Pak, mungkin satu tahun
belakangan ini Pak, terlalu banyak masalah Pak, Saya pikir ini hanya gejala
karena stress yang berlebihan Pak,”
Lelaki itu menghela nafas. “Baiklah,
kamu masih sekolah, kuliah, atau bekerja?”
“Saya masih SMA Pak, ada apa pak
dengan Saya?”
Lelaki itu terdiam sejenak. “Sebaiknya
Anda tidak melanjutkannya untuk sementara, anda harus banyak istirahat dan
Anda…”
Dia tersentak tak percaya.
“Maafkan Saya, Anda harus menjalani
perawatan…”
-------------------------
Ressa nampak murung satu minggu ini.
Kemana Naura? Mengapa sejak insiden itu dia tidak pernah masuk ke sekolah lagi.
Apakah dia benar-benar sedih, sakit hati, atau memutuskan untuk pergi agar
tidak bertemu Gina? Apa yang terjadi dengan Naura? Dia Nampak gelisah, sangat
gelisah. Dia memutuskan pulang sekolah ini untuk mampir ke rumah Naura untuk
tahu apa yang tengah terjadi pada sahabatnya itu.
-------------------------
“Ressaaaa….” Pekik Naura bahagia. “Aku
kangen sama kamu Re.”
Ressa tersenyum bahagia melihat
sahabat baiknya itu nampak sehat. “Aku juga kangen Na sama kamu.”
Naura pun langsung menarik tangan
Ressa untuk bergegas masuk ke rumahnya. Tak lama, Mama Naura pun menyambut
hangat Ressa. Naura dengan bahagia dan cerianya mengenalkan Ressa dengan
Mamanya. Batin Ressa Nampak benar-benar bahagia melihat Naura yang terlihat
akrab dengan mamanya, namun tetap saja tujuannya ke rumah Naura adalah
menanyakan tentang ketidakhadiran Naura selama satu minggu.
Naura mulai termenung setelah
bercerita banyak dengan Ressa. “Hah.”
“Na? Ada apa?” Tanya Ressa yang mulai
bingung.
“Gina, dia harus ke rumah ku besok
sebelum jam tiga sore,” ucap Naura dingin.
Ressa heran dengan ucapan sahabatnya
itu. “Na?”
“Paksa dia Re, aku sayang dia Re.
Kalian berdua adalah sahabat terbaikku Re.”
-----------------------------
“Gin please!” paksa Ressa.
“Sekali enggak tetep enggak Re!”
“Gin Lo keras kepala banget! Sekali
ini aja Gin! Gimana kalo itu permintaan terakhir Naura!” desak Ressa sambil
melihat jam yang hampir menunjukkan pukul tiga sore.
Gina membelalak mata. “Re lo jangan
ngomong ngasal.”
“Gue yakin Gin lo nggak mau kan berantem
apa Naura, please Gin, gue rela jadi
budak Lo! Asal Lo mau ke tempat Naura,”
Gina hening, hatinya memaksa,
mendesak. Dia membuang keegoisannya. Dia melangkah masuk ke mobil. Ressa
menghela nafas tenang. Mobil pun melaju kencang. “Ada seseorang yang menunggu
disana.” Batin Gina.
--------------------------
Mereka sampai pada jam menunjukkan
angka 14.58. Ressa terpontang-panting menarik Gina untuk menemui Naura. Namun suasana
di rumah Naura tampak aura tegang. Terlihat papa dan mama Naura yang penuh rasa
cemas di penuhi air mata penyesalan. Ressa dan Gina mulai melambatkan
langkahnya menuju kamar Naura. “Ada apa sebenarnya?” batin mereka berdua.
“Pa, Ma, Naura sayang kalian. Pa, Ma,
Naura emang gak mau kasih tau apa yang terjadi sama Naura sekarang. Papa sama
Mama harus akur ya, Gina… Re,..”
Mama dan Papa Naura menoleh ke
belakang. Terlihat disana Gina dan Ressa yang terbujur kaku kebingungan melihat
apa yang tengah terjadi pada Naura. “Na, …” desah mereka berdua lemas.
“Naura sayang Gina dan Ressa. Kalian
udah kayak saudara Naura sendiri…”
“Teng…” jam menunjukkan angka 15.00.
“Leukimia,” ucapan terakhir Naura
lepas dan langsung memejamkan kedua matanya.
“Naura..”
“Na, Naa, Nauraaaaaaaaaaaaaaaaaaa,
bangun Na, bangun, jangan tinggalin Mama Nak, Naura…” teriak Mama Naura
histeris dan penuh air mata penyesalan. “Pa…. Paaaaa, Naura Pa…”
“Re….” desah Gina terjatuh tak
berdaya.
---------------------------
“Tuhan
jikalah aku setangkai bunga maka aku adalah Gerbera. Aku hidup diantara
ilalang-ilalang nakal dan diinjak manusia. Disaat mereka melihatku setangkai
bunga yang indah, mereka tetap menginjakku Tuhan, karena mereka pikir aku
adalah sekawanan ilalang nakal. Tuhan, maka disaat aku diinjak, dan aku layu,
tolong buatlah disaat sebuah kata yang akan terbilang dua, maka buatlah itu terucap
tiga. Aku tak akan pernah layu di hati mereka, Tuhan” –Naura-
TAMAT
Langganan:
Postingan
(
Atom
)